Sebuah Kisah Syukur dalam Perjuangan Gereja St. Clara, Bekasi
Malam itu, di awal bulan Februari 2016 saya mendengarkan sharing penuh syukur sekaligus kekuatiran yang terungkap dari seorang sahabat saya, Pater Raymundus Sianipar, OFM.Cap yang melayani sebagai pastor paroki di St. Clara, Bekasi Utara. Sebelumnya, ia baru pulang dari Roma mengikuti studi sejarah perjalanan St. Fransiskus Assisi. Ia menceritakan pergumulannya dalam perjuangan mendirikan Gereja St. Clara yang tidak mudah. Di Assisi, Italia, Pater Raymond (begitu biasa saya panggil), berdoa di hadapan makam St. Clara. IMB Gereja yang dinanti selama 18 tahun sudah keluar namun masalah ternyata belum usai. Gundah gulana.
Saya, orang muda yang sangat akrab dengan saudara-saudara Fransiskan Kapusin. Ah hati saya ini Kapusin banget, sayang hanya kurang jubahnya. Perjumpaan saya dengan Kapusin sejak tahun 2010 adalah awal komitmen dan panggilan saya memberikan diri untuk melayani Gereja dengan cara yang khas sekaligus aneh, mengemis yang kreatif. Mereka sangat berkesan di hati saya.
Dalam hal fundraising, saya memang tahu seluk beluknya. 6 tahun bergerilya pontang panting mencari dana untuk gereja menjadi pengalaman yang unik. Tapi ini beda. Bagaimana dengan St. Clara? Ini kelas kakap. Dari soal dana sampai situasi sosial yang membelitnya, jelas saya ragu.
Saya punya ide, tapi ragu melakukannya. Saya mengutarakan ide itu kepada Pater Raymond. "Pater, saya memang punya jaringan untuk membantu, tapi jaringan saya kecil dan terbatas. Tapi saya perlu peneguhan. Saya mau coba membuat gerakan solidaritas. Saya namai gerakan itu "10 Ribu Kasih untuk Clara". Tapi saya tidak yakin ini akan berhasil." Pater Raymond dan Pater Nestor Sinaga yang juga ada saat itu menjawab "Coba saja, tidak ada salahnya, Greg. Tuhanlah yang akan membantunya."
Saya ingat benar, hari itu 14 Februari 2016, narasi singkat kondisi St. Clara sudah saya siapkan. Malam itu, di depan laptop saya kirim pesan singkat kepada Pater Raymond. "Pater, siap-siap ya", kataku, "Ok Greg, semoga berhasil", jawab beliau.
Saya segera transfer Rp 10.000,- ke rekening donasi. "Tuhan, ini modal saya. Biarlah Tuhan yang melipatgandakannya dengan perjuangan umat-Mu yang menderita ini", itulah doa saya. Akhirnya doa itu saya akhiri dengan berseru,
"St. Clara, tolong bantu saya," itulah doa terakhir sebelum akhirnya tombol "SHARE" saya klik.
Postingan sederhana itu muncul di dinding Facebook saya. Dalam hitungan jam, postingan itu meluncur ke seluruh penjuru Indonesia. Sepanjang 1 minggu berikutnya, telpon dan Whatsapp saya tidak berhenti menerima donasi. Menjelang 1 minggu, saya menangis penuh syukur. Saya mengirim pesan singkat kepada Pater Raymond, "Pater, kita harus mengucap syukur karena pertolongan Tuhan dan St. Clara. 1 Miliar sudah siap dalam waktu 1 minggu". Saya cek donasi itu berkisar dari angka Rp 10 ribu sampai Rp 300 juta.
Saya mengalami peneguhan. Bukan karena banyaknya uang yang mengalir tapi iman yang berbicara "Tuhan takkan pernah terlambat memberi pertolongan". Umat St. Clara telah tahan uji dan Tuhan sungguh menolong mereka. Alhasil, donasi yang terkumpul menyentuh angka Rp 3 Miliar.
Saya percaya bahwa Tuhan tetap setia menolong dan saya bersedia menjadi tangan-Nya yang terulur.
Proficiat untuk seluruh umat St. Clara. Saya bahagia menjadi bagian di antara Kalian. Misa di bawah tenda. Kepanasan, kehujanan. Sepanjang Misa Dedicatio Gereja, batin ini berdesir haru. "Tuhan, saya ini sungguh milik-Mu".
Pater Raymond, tetap semangat ya saudara..
Jadi, gereja mana selanjutnya? "Tuhan, saya siap!"