Pada 1 Januari 2020, saya diberi kesempatan untuk berkunjung ke Puttusibau, sebuah kota kecil di ujung Kalimantan Barat. Maksud kedatangan saya adalah mengunjungi sebuah Gereja Katolik dari Paroki Keluarga Kudus, Bika, Keuskupan Sintang. Setibanya di bandara Putussibau, kira kira Pk. 14.30 WIB, saya dijemput oleh salah satu umat paroki dan langsung diantar ke menuju Gereja Stasi Jelemuk. Disana pastor sudah menunggu bersama umat. Perjalanan kira kira 1 jam lebih naik sepeda motor, jalan mulus hanya saat hampir tiba di lokasi lokasi jalanan yang dilalui itu ternyata banjir setinggi lutut dan mulai rusak serta berlumpur. Saya tiba di salah satu rumah umat dan segera disambut dengan senyuman hangat, namun sayangnya kaum Bapak semua yang ada, sedangkan dua orang ibu sedang mempersiapkan makanan. Setelah beristirahat sejenak, saya langsung menuju Gereja Jelemuk dan survey lokasi, sambil bercerita tentang keadaan disana. Masyarakat disana hampir semuanya petani karet dan kraton (daun dari sebuah pohon yang dikeringkan dan dijual, Rp 30.000/kg). Setelah selesai melihat kondisi Gereja Jelemuk, kami harus langsung pulang, karena takut semakin sore banjir di jalan tidak bisa kami lewati.
Malam hari setelah sampai di paroki, sayapun diajak ke rumah umat dan lokasinya tidak jauh dari pastoran. Disana kami main kartu, minum arak (budaya Dayak) sambil bakar ikan dengan beberapa umat. Tiba Pk. 00.00, saya harus bergegas istirahat karena Pk. 03.00 pagi, saya harus bangun karna akan langsung berangkat ke Kota Sintang saat itu juga. Saya bangun Pk. 03.00 dan ternyata hujan deras luar biasa. Jam 05.00 pagi kami beranikan untuk berangkat dengan jas hujan dengan perjalanan kurang lebih 6 jam dengan sepeda motor dari Paroki Bika ke Kota Sintang. Onde mande lah pokoknya, sudah masuk angin dan kurang tidur, badan sakitnya luar biasa karna jalannya naik turun, seperti tidak ada yang rata. Sampai di Keuskupan Sintang, saya pun sudah langsung masuk mobil bersama dengan Bapa Uskup Sintang. Ga terbayang lelahnya. Bapa Uskup berkata, "Kita harus berangkat sekarang karena takut nanti hujan mobil susah. Kamu tidur aja di belakang atau mau ngapain bebas, kamu pasti capek kali, berani sekali naik motor jauh jauh", katanya. Hmmm agak tersentuh hati saya mendengar sapaan dan perhatian dari Bapa Uskup. Dari Kota Sintang saya menuju Paroki Kota Baru, perkiraan perjalanan ditempuh selama 3 jam lebih dan akhirnya sampai di pastoran. Saya langsung menyantap makanan yang telah disediakan sambil bercerita sedikit. Badan ini rasanya ga kuat lagi, sehingga saya bergegas beristirahat.
Keesokan pagi, 3 Januari 2020 semua rombongan berangkat ke Stasi Nanga Ora dengan perjalanan 2 jam lebih naik perahu karna di sore hari akan dilaksanakan peresmian Gereja oleh Bapa Uskup. Karena satu jalur dengan Stasi Nanga Teluai yang ingin saya kunjungi, jadi kami bisa berangkat bersama-sama. Ini adalah pengalaman luar biasa menurutku, kayak dream come true banget, bisa tourney (perjalanan pelayanan mengunjungi stasi-stasi) naik perahu menyusuri sungai. Setengah perjalanan kami lalui dengan perahu, kamipun singgah di rumah umat dan alamak saya diberi sajian durian langsung dari pohonnya. Seperti dapat durian runtuh.
Melanjutkan perjalanan, kami tiba di Stasi Nanga Teluai, tapi sayangnya saya harus ditinggalkan sendirian karna rombongan dari paroki, Bapa Uskup dan Pastor harus lanjut mengejar waktu untuk acara peresmian Gereja Nanga Ora. Tiba di Gereja Nanga Teluai sayapun mengambil foto-foto Gereja didampingi oleh ketua stasi, sedangkan umat yang lainnya lagi sibuk mempersiapkan acara peresmian keesokan harinya.
Tidak lama sekitar 3 jam saya berada di Stasi Nanga Teluai, hari itu juga saya harus kembali ke paroki dengan naik sepeda motor karena takut hujan kuatir tidak bisa pulang. Dengan naik sepeda motor, saya diantar oleh seorang OMK. Sepanjang perjalanan seperti tak ada jalan yg mulus. Sampai di paroki saya langsung mandi dan makan. Saya bercerita berbagi pengalaman dengan OMK yang mengantar saya dari Nanga Teluai sambil minum kopi dan makan durian. Banyak cerita yang menarik dan menyentuh dari mereka karena mereka adalah anak asrama dengan situasi dan kondisi asrama yang begitu terbatas. Saya harus segera istirahat karena besok paginya Pk. 08.00 pagi harus ke terminal bus, berangkat ke Paroki Nanga Pinoh supaya lebih dekat ke Bandara Sintang. Bus yang kunaiki isinya ayam, durian, beras dan anak-anak yang mabuk perjalanan.
Sampai di Pastoran Nanga Pinoh baru terlihat cerah karena baru ada sinyal telpon dan internet. Selama 3 hari ini ga terasa tidak ada komunikasi dengan dunia luar. Saya menginap semalam di Pastoran Nanga Pinoh. Saya maih menyempatkan mengikuti Misa pagi. Setelah sarapan, saya harus segera berangkat ke Bandara Sintang karena perjalanan satu jam lebih naik sepeda motor. Untungnya ada yg mengantar setelah mencoba telpon sana sini karena taksi dan mobil angkutan tidak ada yngg kosong. Semua penuh.
Selesailah perjalanan saya mengunjungi Keuskupan Sintang di tanggal 5 Januari 2020. Tuhan sungguh baik dan teramat baik, dengan perjalanan yang saya rasa menguras tenaga, saya tetap diberikan kesehatan, padahal sebelum berangkat dari Jakarta sudah hampir tumbang. Sebagai seorang muda Katolik, bergabung di Jala Kasih lebih banyak lelahnya, tapi sukacitanya tak pernah dapat terbayar dan tergantikan. Itulah yang selalu menyemangati saya untuk tetap bertahan melayani. Beginilah kira kira gambaran situasi medan pelayanan pastoran di Keuskupan Sintang. Menyusuri sungai, jalanan yang berlumpur, banjir. Meski demikian, para pastor dan umat disini tetap berjuang melayani Gereja. Semoga kisah singkat ini memberikan inspirasi dan semangat untuk kita semua yang sampai hari ini diberikan kenyamanan dan beribadat dan berjumpa dengan Tuhan dengan segala fasilitas yang memadai.